23 Agustus 2009

Lebih Baik Keluar Dari Jamaah

Bagikan
Hari ini jam 13:31
Sebuah tulisan yang bagus dan semoga bermanfaat buat antum semuanya

"Akh,
dulu ana merasa semangat saat aktif dalam da'wah. Tapi belakangan
rasanya semakin hambar. Ukhuwah makin kering. Bahkan ana melihat
ternyata ikhwah banyak pula yang aneh-aneh."Begitu keluh kesah seorang
mad'u kepada seorang murobbinya di suatu malam. Sang murobbi hanya
terdiam, mencoba terus menggali semua kecamuk dalam diri mad'unya.

"lalu apa yang ingin antum lakukan setelah merasakan semua itu ? "
sahut sang murobbi setelah sesaat termenung. " Ana ingin berhenti saja,
keluar dari tarbiyah ini. Ana kecewa dengan prilaku beberapa ikhwah
yang justru tidak Islami. Juga dengan organisasi dakwah yang Ana
geluti; kaku dan sering mematikan potensi anggota-anggotanya. Bila
begini terus, Ana mendingan sendiri saja." Jawab mad'u itu.

Sang murobbi termenung kembali. Tidak tampak raut terkejut dari roman
di wajahnya. Sorot matanya tetap terlihat tenang, seakan jawaban itu
memang sudah diketahuinya sejak awal. " Akhi, bila suatu kali antum
naik sebuah kapal mengarungi lautan luas. Kapal itu ternyata sudah
sangat bobrok. Layarnya banyak berlubang, kayunya banyak yang keropos
bahkan kabinnya bau kotoran manusia. Lalu, apa yang akan antum lakukan
untuk tetap sampai pada tujuan?". Tanya sang murobbi dengan kiasan
bermakna dalam. Sang mad'u terdiam dan berfikir. Tak kuasa hatinya
mendapat umpan balik sedemikian tajam melalui kiasan yang amat tepat. "
Apakah antum memilih untuk terjun kelaut dan berenang sampai tujuan?".
Sang murobi mencoba memberi opsi. "Bila antum terjun ke laut, sesaat
antum akan merasa senang. Bebas dari bau kotoran manusia, merasa
kesegaran air laut, atau bebas bermain dengan ikan lumba-lumba . tapi
itu hanya sesaat.

Berapa kekuatan antum untuk berenang hingga tujuan?. Bagaimana bila
ikan hiu datang. Darimana antum mendapat makan dan minum? Bila malam
datang, bagaimanan antum mengatasi hawa dingin?" serentetan pertanyaan
dihamparkan dihadapan sang mad'u. Tak ayal, sang mad'u menangis
tersedu. Tak kuasa rasa hatinya menahan kegundahan sedemikian.
Kekecewaannya kadung memuncak, namun sang murobbi yang dihormati justru
tidak memberi jalan keluar yang sesuai dengan keinginannya.

"Akhi, apakah antum masih merasa bahwa jalan dakwah adalah jalan yang
paling utama menuju ridho Allah? " Bagaimana bila ternyata mobil yang
antum kendarai dalam menempuh
jalan itu ternyata mogok? Antum akan berjalan kaki meninggalkan mobil
itu tergeletak dijalan, atau mencoba memperbaikinya? . Tanya sang
murobbi lagi.

Sang mad'u tetap terdiam dalam sesenggukan tangis perlahannya.
Tiba-tiba ia mengangkattangannya:"Cukup akhi, cukup. Ana sadar..
maafkan Ana.. ana akan tetap Istiqomah. Ana berdakwah bukan untuk
mendapatkan medali kehormatan. Atau agar setiap kata-kata ana
diperhatikan. " .

Biarlah yang lain dengan urusan pribadinya masing-masing. Biarlah ana
tetap berjalan dalam dakwah. Dan hanya Allah saja yang akan
membahagiakan ana kelak dengan janji-janji- Nya. Biarlah segala
kepedihan yang ana rasakan menjadi pelebur dosa-dosa ana". Sang mad'u
berazzam dihadapan sang murobbi yang semakin dihormatinya.

Sang murobbi tersenyum "Akhi, jama'ah ini adalah jamaah manusia. Mereka
adalah kumpulan insan yang punya banyak kelemahan. Tapi dibalik
kelemahan itu, masih amat banyak kebaikan yang mereka miliki . Mereka
adalah pribadi-pribadi yang menyambut seruan Allah
untuk berdakwah. Dengan begitu, mereka sedang berproses menjadi manusia
terbaik pilihan Allah." "Bila ada satu dua kelemahan dan kesalahan
mereka, janganlah hal itu mendominasi perasaan antum. Sebagaimana Allah
ta'ala menghapus dosa manusia dengan amal baik mereka, hapuslah
kesalahan mereka dimata antum dengan kebaikan-kebaikan mereka terhadap
dakwah selama ini. Karena di mata Allah, belum tentu antum lebih baik
dari mereka."

"Futur, mundur, kecewa atau bahkan berpaling menjadi lawan bukanlah
jalan yang masuk akal. Apabila setiap ketidak-sepakatan selalu disikapi
dengan jalan itu , maka kapankah dakwah ini dapat berjalan dengan
baik?" sambungnya panjang lebar. "Kita bukan sekedar pengamat yang
hanya bisa berkomentar. Atau hanya pandai menuding-nuding sebuah
kesalahan. Kalau hanya itu, orang kafirpun bisa melakukannya. Tapi kita
adalah da'i. kita adalah khalifah. Kitalah yang diserahi amanat oleh
Allah untuk membenahi masalah-masalah di muka bumi. Bukan hanya
mengeksposnya, yang bisa jadi justru semakin memperuncing masalah.

"Jangan sampai, kita seperti menyiram bensin ke sebuah bara api. Bara
yang tadinya kecil.tak bernilai, bisa menjelma menjadi nyala api yang
yang membakar apa saja. Termasuk kita sendiri!" "Bekerjalah dengan
ikhlas. Berilah taushiah dalam kebenaran, kesabaran dan kasih sayang
kepada semua ikhwah yang terlibat dalam organisasi itu. Karena
peringatan selalu berguna bagi orang beriman. Bila ada isyu atau gosip
tutuplah telinga antum dan bertaubatlah. Singkirkan segala ghil antum
terhadap saudara antum sendiri. Dengan itulah, Bilal yang mantan budak
hina menemui kemuliaannya. "

Suasana dialog itu mulai mencair. Semakin lama, pembicaraaan melebar
dengan akrabnya. Tak terasa, kokok ayam jantan memecah suasana. Sang
mad'u bergegas mengambil wudhu untuk berqiyamu lail. Malam itu. Sang
mad'u sibuk membangunkan mad'u yang lain dari asyik tidurnya. Malam itu
sang mad'u menyadari kesalahannya. Ia bertekad untuk tetap berputar
bersama jama'ah dalam mengarungi jalan dakwah. Pencerahan diperolehnya.
Demikian yang kami harapkan dari antum sekalian.

Semoga bermanfaat


sumber: http://haroqi.multiply.com/journal/item/607/Lebih_baik_Keluar_dari_Jamaah?replies_read=2

Tidak ada komentar:

Posting Komentar